Kini Bank Indonesia (BI) segera
melonggarkan likuiditas perbankan dengan mengubah aturan loan to value
(LTV) kredit pemilikan rumah (KPR) untuk menyuburkan pertumbuhan kredit.
Bagaimana memilih suku bunga KPR yang tepat? Untuk mengejar
target pertumbuhan kredit 15%–17%, BI segera mengubah LTV KPR dari 70%
menjadi 80%. Apa itu loan to value (LTV)? LTV merupakan rasio antara
kredit atau pembiayaan yang diberikan oleh bank nasional dan atau
perusahaan pembiayaan (multifinance) terhadap nilai barang (rumah atau
kendaraan).
Tiga tahun lalu, tepatnya pada 15 Maret 2012, BI
meluncurkan Surat Edaran Nomor 14/10/DPNP mengenai LTV KPR dan uang muka
kredit kendaraan bermotor. Waktu itu, aturan LTV KPR sebesar 70% yang
berarti uang muka (down payment) 30% dari nilai rumah.
Bagaimana
pertumbuhan KPR dan KPA (kredit pemilikan apartemen)? Statistik Ekonomi
Keuangan Indonesia yang terbit Mei 2015 menunjukkan, KPR dan KPA hanya
naik 12,51% dari Rp284,78 triliun per Maret 2014, Rp320,41 triliun per
Maret 2015. Pertumbuhan yang lelet. Terutama bila dibandingkan dengan
pertumbuhan KPR dan KPA per Maret 2014 yang mencapai 23,07%. Itulah
sebabnya BI buru-buru menerbitkan aturan LTV KPR yang segera efektif
Juni 2015.
Suku Bunga KPR
Lagi-lagi,
bagaimana memilih suku bunga KPR? Faktor apa saja yang patut
dipertimbangkan? Pertama, suku bunga paling ringkih. Boleh dikatakan
suku bunga KPR adalah paling ringkih terhadap kenaikan suku bunga acuan.
Selama ini, ketika BI Rate merangkak naik yang kini 7,5% bisa
menimbulkan efek domino. Kok bisa? Begini kisahnya.
Kenaikan BI
Rate akan menyulut kenaikan biaya dana (cost of fund) perbankan nasional
sehingga bank nasional terpaksa menaikkan suku bunga simpanan
(deposito). Alhasil, bank nasional saling berlomba untuk menawarkan suku
bunga tinggi, bahkan kalau perlu di atas suku bunga penjaminan Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) alias LPS Rate.
Kondisi ini mendorong
terjadinya perang suku bunga deposito yang tidak sehat sehingga suku
bunga deposito sempat bertengger di level dua digit. Sampai akhirnya,
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membatasi batas atas suku bunga deposito
efektif 1 Oktober 2014. Aturan tersebut menetapkan batas atas suku bunga
deposito maksimal 200 basis poin (bps) dan 225 bps di atas BI Rate atau
9,5% dan 9,75% masing-masing untuk bank umum kegiatan usaha (BUKU) IV
dan III untuk deposito di atas Rp2 miliar.
Padahal, LPS hanya
menjamin simpanan hingga Rp2 miliar. Aturan itu tidak berlaku bagi BUKU I
dan II. Selain itu, OJK juga menetapkan suku bunga itu sudah termasuk
pemberian insentif berupa hadiah langsung uang tunai (cashback) dan
layanan khusus kepada deposan kelas ikan paus.
Aturan itu
bertujuan menipiskan suku bunga deposito yang lantas menyetrum suku
bunga kredit. Ketika suku bunga simpanan naik, suku bunga kredit
otomatis akan terkerek naik. Nah, repotnya suku bunga KPR paling cepat
terimbas kenaikan suku bunga kredit sehingga debitur KPR menjadi korban
pertama. Celakanya lagi, manakala BI Rate mulai menguncup, suku bunga
KPR enggan untuk turun kembali.
Namun, Anda sebagai debitur KPR
jangan hanya duduk manis. Sejatinya, Anda memiliki hak penuh untuk
menuntut bank penerbit KPR untuk menurunkan suku bunga KPR. Itu sejauh
Anda sebelumnya telah memilih suku bunga KPR mengambang atau mengikuti
suku bunga pasar (floating). Kedua, mencermati suku bunga negara jiran.
Sebagai
perbandingan, marilah kita lirik suku bunga KPR negara tetangga
terdekat, Malaysia. Di sana, beberapa bank sudah lama menawarkan suku
bunga KPR dengan berpedoman pada suku bunga dasar kredit (SBDK) yang
disebut sebagai base lending rate (BLR) dan atau suku bunga acuan
Malaysia.
Sebagai contoh konkret, lirik saja suku bunga KPR yang
ditawarkan Bank Internasional Indonesia (BII) yang sebagian besar
sahamnya dikuasai Malayan Banking Berhad (Maybank) bank terbesar di
Malaysia.
Selain menawarkan suku bunga KPR tetap (fixed) selama
satu hingga 10 tahun, BII juga menyediakan suku bunga KPR yang
berpedoman pada suku bunga acuan, yakni BI Rate + 3,25% untuk rumah
pertama (primary) dan BI Rate + 3,5% untuk rumah kedua (secondary).
Dengan
bahasa lebih bening, ketika kelak BI Rate menipis dari 7,5% menjadi 7%
misalnya, maka debitur akan menikmati penipisan BI Rate dengan hanya
membayar suku bunga KPR sebesar 7% (BI Rate) + 3,25% (primary) = 10,25%
atau 7% (BI Rate) + 3,5% (secondary) = 10,50%. Semakin rendah BI Rate,
debitur akan semakin kecil membayar angsuran KPR.
Sebaliknya,
semakin tinggi BI Rate, debitur akan semakin besar membayar angsuran
KPR. Ketiga, memilih suku bunga KPR. Nah, kini masalahnya bagaimana
memilih suku bunga KPR yang kompetitif. Paling tidak ada dua opsi yang
dapat dipertimbangkan dalam memilih suku bunga KPR tetap (fixed) sekian
tahun plus mengambang (floating) atau hanya floating seperti BI Rate +
sekian persen.
Dengan terbitnya perubahan aturan LTV tersebut,
itu mengandung arti likuiditas akan semakin kendur atau longgar. Jadi,
beberapa bank nasional papan atas mulai menipiskan suku bunga dasar
kredit. Artinya, boleh jadi suku bunga KPR akan makin kecil. Opsi yang
dapat dipilih adalah suku bunga KPR tetap untuk beberapa tahun yang kini
mencapai sekitar 11,5%–12% plus mengambang.
Namun, jangan lupa
bahwa BI Rate berpotensi terkena dampak kenaikan suku bunga acuan
Amerika Serikat (The Fed Rate) dari saat ini 0,25% yang diprediksi akan
naik menjadi minimal 1%–2% pada kuartal III/2015. Tatkala BI Rate naik
menjadi 8%, maka suku bunga KPR mengambang akan menjadi 8% + 3,25% =
11,25%.
Itu masih lebih rendah daripada suku bunga KPR tetap
beberapa tahun plus mengambang. Berbekal aneka pertimbangan demikian,
Anda dapat memilih suku bunga KPR dengan tepat. Ini penting dan mendesak
untuk memperlancar arus kas anggaran rumah tangga Anda.
Senin, 29 Juni 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar